Sabtu, 14 Januari 2012

MEMBEDAKAN KALIMAT FAKTA DAN OPINI PADA EDITORIAL



A. Membedakan Fakta dan Opini

Surat kabar merupakan media efektif untuk menyampaikan informasi kepada pembaca. Di dalam surat kabar terdapat editorial atau tajuk rencana. Dalam pembelajaran ini, Anda akan berlatih membaca dan memahami editorial atau tajuk rencana. Anda akan menemukan fakta dan opini dalam editorial tersebut. Di samping mengungkapkan isinya, Anda pun akan berlatih membedakan fakta dan opini dalam editorial atau tajuk rencana.

Pernahkah Anda membaca editorial atau tajuk rencana? Anda dapat menemukannya di dalam surat kabar. Editorial atau tajuk rencana adalah tulisan dalam surat kabar atau majalah yang berisi permasalahan aktual. Tulisan tersebut ditulis berdasarkan sudut pandang redaksi surat kabat atau majalah tersebut.

Di dalam tajuk rencana terdapat fakta dan opini. Fakta dalam tajuk rencana adalah hal-hal faktual yang diambil dari peristiwa atau gejala tertentu di masyarakat. Adapun opini adalah argumen atau tanggapan redaksi terhadap peristiwa atau gejala yang dijadikan pokok pembicaraan dalam tajuk rencana.

Agar lebih jelas, perhatikanlah editorial berikut. Bacalah dengan teliti.

Memaksimalkan Standar Keselamatan Penerbangan
Persepsi bahwa tingkat keselamatan penerbangan nasional telah memasuki kategori menakutkan mendapatkan pembenaran. Kali ini, legitimasi itu datang langsung dari pemerintah.
Pekan ini, Departemen Perhubungan merilis daftar peringkat terbaru perusahaan penerbangan dan standar keselamatan mereka. Dari 21 perusahaan yang dinilai, hanya satu yang masuk kategori I atau berkinerja baik. Sisanya hanya masuk kategori II atau sedang, dan bahkan III, alias buruk.
Hasil pemeringkatan itu, ironisnya, tidak mengejutkan. Hal itu tidak mengejutkan karena semua paham bahwa standar keselamatan penerbangan di negeri ini memang rendah. Tidak mengejutkan karena kecelakaan pesawat yang menelan korban jiwa bukan satu-dua kali terjadi. Ia amat sering terjadi.
Sebuah lembaga audit penerbangan internasional sebelumnya telah menetapkan bahwa tidak ada satu pun maskapai penerbangan Indonesia yang masuk kategori I. Beberapa negara, terutama Amerika Serikat (AS), bahkan mengeluarkan peringatan kepada warganya agar tidak menggunakan jasa penerbangan Indonesia. Tentu itu menjadi sebuah pukulan telak bagi kredibilitas penerbangan sipil negeri ini.
Adapun yang sangat disesalkan adalah upaya untuk meningkatkan standar keselamatan itu jauh lebih lambat daripada yang diharapkan. Setelah sekian lama, hanya satu dari 21 maskapai yang berhasil masuk ke kategori I. Maskapai yang masuk kategori I pun belum diakui IATA Organization Safety Audit (IOSA). Hal ini terjadi karena tidak juga memiliki sertifikat IOSA.
Posisi itu lagi-lagi membuat reputasi penerbangan nasional berada dalam bahaya. Karena itu, harus ada upaya yang lebih dari sekadarnya untuk memulihkan citra buruk yang telanjur telah terbentuk.
Pemerintah harus menetapkan kebijakan yang memaksa agar upaya-upaya peningkatan standar keselamatan penerbangan dilakukan secepat-cepatnya dan secermat-cermatnya. Pemerintah ditantang untuk lebih tegas lagi dalam menerapkan sanksi.
Pencabutan izin operasi kepada maskapai penerbangan yang masuk kategori III atau buruk harus dilakukan tanpa diskriminasi. Maskapai mana pun yang sejatinya masih berada di kategori III harus dicabut izinnya. Pemberian privilese agar maskapai tertentu lolos peringkat dan masuk kategori II tidak boleh terjadi.
Ke depan, kriteria terhadap pemberian izin baru perlu diperketat. Maskapai baru yang ingin masuk pasar penerbangan nasional, misalnya, haruslah maskapai yang mampu memenuhi kategori I. Bila tidak, izin operasi tidak boleh diterbitkan.
Sebaliknya, bagi maskapai yang sudah ada, dalam kurun waktu tertentu misalnya, diharuskan memenuhi standar kategori I. Bila tidak, izin operasinya dapat dicabut. Dengan sistem itu, pengguna jasa mendapatkan jaminan standar keamanan terbaik. Upaya seperti itu  mestinya menjadi sebuah keniscayaan.
Pengguna jasa penerbangan tentu berharap semua maskapai mencapai standar keselamatan excellent. Berbeda dengan bus kota yang boleh mogok di tengah jalan, bagi transportasi udara, kerusakan mesin dan kekacauan sistem pascalepas landas adalah dosa terbesar.
Maskapai penerbangan juga tidak boleh terjebak dalam perang tarif. Liberalisasi dalam pasar bebas tidak berarti kebebasan dalam mematikan pesaing dengan menerapkan tarif serendah-rendahnya.
Karena kalau itu yang terjadi, dan standar keselamatan dikorbankan, maskapai penerbangan sejatinya tengah mematikan pengguna jasa dalam arti harfiah. Itu jelas sebuah kejahatan kemanusiaan. Sungguh menyeramkan jika sejatinya itu yang terus berlangsung selama ini.
Sumber: Media Indonesia, 28 Juni 2007


Dapatkah Anda menemukan fakta dan opini dalam editorial tersebut?
Berikut ini adalah fakta yang terangkum dalam editorial tersebut.
1.      Pekan ini, Departemen Perhubungan merilis daftar peringkat terbaru perusahaan penerbangan dan standar keselamatan mereka.
2.      Beberapa negara, terutama Amerika Serikat (AS), bahkan mengeluarkan peringatan kepada warganya agar tidak menggunakan jasa penerbangan Indonesia.
3.      Setelah sekian lama, hanya satu dari 21 maskapai yang berhasil masuk ke kategori I. Maskapai yang masuk kategori I pun belum diakui IATA Organization Safety Audit (IOSA). Hal ini terjadi karena tidak juga memiliki sertifikat IOSA.

Dari ketiga contoh fakta tersebut, dapat dilihat bahwa kutipan-kutipan tersebut tidak disisipi tanggapan atau opini dari redaksi. Ketiga hal tersebut ditulis apa adanya.
 Sekarang perhatikan contoh opini berikut.
1.      Posisi itu lagi-lagi membuat reputasi penerbangan nasional berada dalam bahaya. Karena itu, harus ada upaya yang lebih dari sekadarnya untuk memulihkan citra buruk yang telanjur telah terbentuk.
2.      Ke depan, kriteria terhadap pemberian izin baru perlu diperketat. Maskapai baru yang ingin masuk pasar penerbangan nasional, misalnya, haruslah maskapai yang mampu memenuhi kategori I. Jika tidak, izin operasi tidak boleh
diterbitkan.
3.      Karena kalau itu yang terjadi, dan standar keselamatan dikorbankan, maskapai penerbangan sejatinya tengah mematikan pengguna jasa dalam arti harfiah. Itu jelas sebuah kejahatan kemanusiaan.

Ketiga contoh kutipan tersebut merupakan tanggapan dari redaksi terhadap beberapa fakta yang dimunculkan dalam editorial. Dalam kutipan opini tersebut, dikemukakan juga harapan-harapan yang bertujuan untuk memberikan solusi terhadap permasalahan.
Sekarang, Anda tentu telah mulai memahami perbedaan antara fakta dan opini. Dapatkah Anda menemukan fakta dan opini lainnya dalam tajuk rencana tersebut?
Secara keseluruhan, tajuk rencana tersebut berisi buruknya standar keselamatan yang ada dalam industri penerbangan Indonesia. Masyarakat tentu menginginkan rasa aman tiap kali melakukan perjalanan. Akan tetapi, yang terjadi ternyata standar keselamatan dikorbankan demi tercapainya keuntungan besar. Standar keselamatan dijatuhkan agar harga penerbangan menjadi lebih ekonomis. Padahal, hal terpenting dalam perjalanan penerbangan adalah kenyamanan dan keselamatan. Hal inilah yang disinyalir menjadi salah satu faktor penyebab meningkatnya angka
kecelakaan pesawat. Bagaimanapun angka kecelakaan yang terjadi telah mencoreng reputasi penerbangan Indonesia.

















UJI MATERI
1. Bacalah editorial berikut dengan cermat dan teliti.

Gangguan Listrik dan Tabiat Perawatan
Bangsa ini cukup pandai membangun, namun hanya menyisakan sedikit kecerdasan untuk merawat hasil-hasil pembangunan. Pembangunan system interkoneksi listrik di wilayah Jawa dan Bali, misalnya. Mestinya, sistem interkoneksi itu memberi jaminan kecukupan aliran arus listrik di kedua pulau tersebut.
Namun, fakta berbicara lain. Perusahaan Listrik Negara (PLN) justru tidak mampu member  jaminan ketersediaan arus listrik setiap saat. Tiba-tibasaja listrik padam tanpa pemberitahuan. Sabotase pernah dijadikan kambing hitam sebagai penyebab, sehingga alat negara seperti pihak kepolisian dan badan intelijen diperintahkan untuk turun tangan.
Ternyata tabiat perusahaan yang enggan merawat peralatan menjadi pangkal persoalan. Permasalahan bertambah rumit lantaran perusahaan tidak mampu melakukan antisipasi secara menyeluruh. Kekurangan bahan bakar pembangkit listrik selalu terjadi setiap tahun. Mestinya, PLN membuat perencanaan yang komprehensif dengan memperhitungkan secara cermat seluruh gangguan yang bakal ada.
Sistem interkoneksi listrik di wilayah Jawa-Bali pada pekan lalu kembali mengalami gangguan yang berujung pada ancaman pemadaman bergilir.
Pemadaman memang tidak sampai dilakukan secara menyeluruh di dua wilayah tersebut. Persoalannya sederhana sekali, tapi akibatnya sangat fatal, yaitu sejumlah pembangkit listrik mengalami gangguan pada saat bersamaan.
Pasokan daya Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) Muara Tawar, Bekasi, terhenti akibat ketiadaan bahan bakar minyak (BBM). Pasokan BBM ke Muara Tawar terganggu akibat kerusakan pompa pada kapal pengangkut BBM. Begitu juga PLTU Paiton Unit 7, Jawa Timur, mengalami gangguan peralatan kipas udara, PLTU Suralaya terkena gangguan trafo, PLTGU Cilegon ketiadaan gas, dan PLTU Cilacap terganggu karena air laut surut.
Penyebab gangguan tersebut semuanya adalah masalah yang bisa diprediksi sebelumnya. Kebutuhan bahan baku BBM dan gas sudah seharusnya bisa diantisipasi. Gangguan kipas udara dan trafo mencerminkan tabiat perusahaan yang tidak mau merawat peralatan. Begitu juga gangguan air laut surut semestinya sudah diperhitungkan sejak dini dalam perencanaan proyek.
 Listrik sudah menjadi kebutuhan vital. Pemadaman listrik meski dalam sekejap saja berdampak luas. Pemadaman itu berpotensi mengganggu roda perekonomian nasional karena tidak ada perusahaan yang tidak menggunakan listrik.
Sudah saatnya PLN memperbaiki kinerjanya  sebab perusahaan itu melayani 56% kebutuhan listrik nasional. Saat ini daya listrik nasional terpasang baru 19.000 megawatt, dan 15.000 megawatt di antaranya ada di Jawa-Bali. Angka ini baru bisa dinikmati 52% rakyat Indonesia atau sekitar 18 juta keluarga.
Persoalan yang ada di depan mata ialah pertumbuhan kebutuhan listrik nasional tidak seimbang dengan pertumbuhan pembangkit listrik.
Pertumbuhan kebutuhan listrik nasional 7,1% per tahun dan diperkirakan pada 2025 akan terjadi  krisis kebutuhan listrik.
Indonesia tidak bisa lagi mengandalkan pembangkit listrik konvensional yang menggunakan bahan baku minyak bumi. Cetak Biru Pengelolaan Energi Nasional 2005–2025 menargetkan pengurangan pemakaian minyak bumi menjadi hanya 26,2% pada 2025 dari saat ini 72,1%.
Pemerintah sudah mencanangkan program 10.000 megawatt untuk menambah daya listrik di Jawa-Bali. Wapres Jusuf Kalla pun mengundang investor dari China untuk menanam modal di bidang kelistrikan. Bahkan, pemanfaatan pembangkit listrik tenaga nuklir pun mulai dilirik.
Namun, sebagus apa pun program pemerintah, sebanyak apa pun penambahan daya listrik, persoalannya kembali kepada keseriusan PLN menata diri untuk merawat seluruh pembangkit listrik yang ada.
Sumber: Media Indonesia, 27 Juni 2007


2. Perincilah fakta dan opini yang ada dalam editorial tersebut.
3. Tulis kembali isi editorial tersebut dengan menggunakan katakata Anda sendiri.
4. Diskusikanlah hasil pekerjaan Anda dengan teman dan guru Anda.

1 komentar: